“Angka harapan hidup penderita Duchenne Muscular Dystrophy (DMD) sekarang hanya mencapai sekitar usia 20 tahunan saja,” ujar Prof. Dr. dr. Elisabeth Siti Herini Sp.A(K), Direktur Pelayanan Medik dan Keperawatan Rumah Sakit Akademik (RSA) UGM.
Hal ini disampaikan Herini dalam jumpa pers ‘Seminar Awam tentang Penyakit Bawaan DMD’ pada Sabtu (8/9) di Selasar Auditorium RSA UGM Lantai 5. Seminar ini diselenggarakan RSA UGM bekerja sama dengan Pokja Genetik Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) UGM. Tujuannya adalah untuk memberi pengetahuan kepada keluarga pasien penderita DMD tentang diagnosis dan terapi terkini.
Herini menjelaskan seminar ini terselenggara sekaligus untuk memperingati Duchenne Awarness Day.
“Oleh karena itu, penyakit yang kita sorot disini adalah DMD,” ungkapnya.
DMD, lanjut Herini, adalah penyakit otot yang diturunkan secara genetik akibat kelainan gen yang menyerang anak laki-laki. Ia melanjutkan bahwa penderita DMD umumnya mengalami kelemahan pada otot yang biasanya diawali dengan kesulitan untuk berjalan, dan bahkan berdiri.
“Ketika sampai otot organ dalam seperti pernafasan atau jantung maka saat itulah fase terakhir DMD, yakni kematian, tiba,” jabarnya.
dr. Gunadi, Ph.D., Sp.BA., Ketua Pokja Genetik FK-KMK UGM, menyebutkan pendertia DMD pada saat kelahiran biasanya tampak normal. Gejala baru muncul ketika usia 4 atau 5 tahun. Lalu, ketika usia 8 atau 9 tahun, kondisi penderita akan memburuk sehingga biasanya akan mulai menggunakan kursi roda untuk mobilitasnya.
“Namun, terkadang gejala juga bisa muncul sebelum tiga tahun ditandai dengan kesusahan bayi untuk mulai merangkak atau berjalan,” ungkapnya.
Lebih lanjut Gunadi menjelaskan alasan kenapa penyakit ini hanya bisa menyerang laki-laki karena gen yang disasar oleh penyakit ini ada pada kromosom x, dan hanya lelaki yang memilikinya. Sementara wanita biasanya hanya sebagai pembawa saja atau dikenal dengan carrier.
“Sebenarnya wanita bisa terkena penyakit sejenis, namanya Becker Muscular Dystrophy (BMD). Bedanya penderita BMD tidak memiliki batas usia harapan hidup spesifik jika dibanding DMD,” ujarnya.
Gunadi mengungkapkansejauh ini DMD masih belum ditemukan obatnya. Ia menyebutkan hanya terapi yang saat ini tersedia, tetapi itu hanya untuk menghambat perkembangan penyakitnya saja.
“Khususnya di Indonesia, terapi steroid paling umum dilakukan untuk penderita DMD,” ungkapnya.
Akan tetapi, menurut Gunadi, terapi ini belumlah efektif dalam menghambat proses pelumpuhan otot DMD. Oleh karena itu, Gunadi menyatakan bahwa seminar berusaha memperkenalkan terapi gen yang menyasar langsung akar penyakit DMD.
Hal itu, lanjut Gunadi, sekaligus didukung oleh Pokja Genetik FK-KMK UGM yang saat ini tengah mengembangkan diagnosis gen pada penderita DMD. “Apakah gen tersebut mengalami delesi atau duplikasi ? Dengan mengetahuinya, penanganan melalui terapi gen dapat dilakukan,” tuturnya.
Gunadi menerangkan terapi gen inilah yang saat ini banyak dilakukan di Eropa. Hasilnya, usia harapan hidup penderita DMD bisa lebih panjang, yakni berkisar 30 tahunan. Selain itu, terapi ini juga mampu menghambat perkembangan DMD sehingga memperpanjang kesempatan penggunaan kursi roda ke usia belasan tahun.
Muhammad Fahmi Husaen, mahasiswa D3 Jurusan Komputer dan Sistem Informasi UGM penderita DMD yang turut hadir dalam jumpa pers, menyatakan rasa terima kasih dengan terselenggaranya seminar ini. “Walaupun tidak bisa menyembuhkan sepenuhnya, namun seminar ini memberi semangat pada saya,” ucapnya.
Fahmi sudah terdiagnosis menderita DMD sejak berusia 8 bulan. Namun, hal ini tidak membuatnya patah semangat dalam pendidikan, terutama bidang teknologi informasi. Walaupun tidak sepenuhnya ia mengenyam pendidikan formal, namun ia tercatat sudah memenangkan beberapa perlombaan sejak ia berada di usia SMP.
Pencapaian terakhirnya pada ajang Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional 2018 minggu lalu. Ia bersama dua kawannya menyabet dua medali emas dalam kategori PKM-KC untuk presentasi dan poster. Karya yang dilombakannya adalah Sepatu Pencegah Konfraktur Pergelangan Kaki bagi penderita kelumpuhan. “Karya ini juga saya ilhami dari pengalaman sendiri sebagai penderita DMD,” ungkapnya.
Ani Marwati, Ibu Fahmi yang turut mendampinginya, merasa bangga dengan pencapaian yang diraih anaknya. “Walaupun Fahmi sadar dengan kekurangannya, ia tetap bersemangat melebih anak pada umumnya,” tuturnya.
Ani menceritakan sebagai seorang Ibu dari penderita DMD, tentu rasa bersalah pasti ada. Ia memiliki empat orang anak yang kesemuanya laki-laki. Tiga diantara anaknya tersebut terdiagnosis mengidap DMD.
Akan tetapi, hal itu tidak lantas membuatnya kecewa melahirkan mereka. Ia justru sangat mencintai mereka dan bersedia memberikan apapun untuk mereka. “Tentu susah, tapi ini semua sudah menjadi suratan takdir. Oleh karena anak adalah titipan, tentu harus kita rawat sebaik-baiknya,” ujarnya.
Pengalaman Ani inilah yang mendorongnya mendirikan Komunitas Orang Tua Hebat bagi para orang tua anak penderita DMD pada tahun lalu. “Melalui komunitas ini, saya ingin menularkan semangat saya dalam mengasuh anak-anak saya,” pungkasnya. (Humas UGM/Hakam)
Oleh: Satria
Dari: https://ugm.ac.id/id/berita/17011-mengenal.lebih.dekat.dmd