SLEMAN, KRJOGJA.com – Menurut data World Health Organization South East Asian Region (WHO SEARO) pada tahun 2010 diperkirakan prevalensi bayi dengan kelainan bawaan di Indonesia mencapai 59,3 per 1.000 kelahiran hidup. Jika setiap tahun lahir 5.000 bayi, maka akan ada sekitar 295 ribu kasus kelainan bawaan per tahun.
Dasarnya, sebagian besar kelainan bawaan tersebut bisa dicegah melalui pemeriksaan sebelum kelahiran. Dengan begitu, biaya untuk pengobatan bisa ditekan sedemikian rupa dengan program preventif.
Menurut Guru Besar Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Diponegoro (Undip), Prof Sultana MH Faradz MD PhD pemeriksaan prenatal penting dilakukan agar mampu mendeteksi adanya kelainan pada bayi. Tes genetik prenatal tersebut bisa membantu orangtua membuat suatu keputusan, apakah kehamilan akan dilanjutkan atau diterminasi jika fetus terdiagnosa memiliki kelainan bawaan.
“Sekarang, dengan lahirnya era genomik, mulai ada penemuan alat untuk memeriksa genom manusia. Dari situ, kita bisa mencegah penyakit yang tidak diinginkan pada anak,” jelasnya dalam agenda 2nd International Symposium on Congenital Anomaly and Developmental Biology (ISCADB) di Eastparc Hotel Yogyakarta, Sabtu (04/08/2018).
Ia melanjutkan, tes prenatal sejak dulu memang sudah ada, tetapi belum memberikan diagnosa yang tepat, khususnya mengenai kelainan bawaan. “Bisa jadi, kalau dulu dicek, anaknya diperkirakan sehat, tetapi ternyata pas lahir ada down syndrome. Dari salah satu alat bernama Next Gen Sequencing, akan ketahuan abnormalnya bawaan dari ibu, bapak atau keduanya. Jika ingin tes prenatal untuk mencegah itu semua, ibu bisa ke spesialis kandungan atau ke lab tertentu,” paparnya.
Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Dr dr Sutaryo SpA(K), mengatakan pemerintah Amerika pada tahun 2013 menghabiskan dana sebanyak USD 22,9 Milyar atau setara Rp 320,6 Triliun untuk pengobatan bayi dengan kelainan bawaan.
“Sedangkan, di Indonesia hingga saat ini belum ada penghitungan dana yang pasti, tetapi diperkirakan membutuhkan dana besar. Contohnya, untuk cangkok sumsum tulang pada penderita thalasemia membutuhkan Rp 2 Milyar. Adapun untuk penyakit Hirschprung membutuhkan biaya Rp 5-15 Juta,” jelasnya.
Lebih lanjut, melalui simposium tersebut, sejumlah rekomendasi dijabarkan, diantaranya ada registrasi kelainan bawaan di seluruh Indonesia. Melalui registrasi, penyakit kelainan bawaan pada bayi bisa terdeteksi lebih dini, diperhatikan dan dicari upaya pencegahannya. Program tersebut perlu melibatkan seluruh stakeholders, termasuk Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) hingga Ikatan Bidan Indonesia (IBI).
“Perlu laboratorium khusus untuk pencegahan dan deteksi kelainan bawaan, mulai dari konseling pra nikah, pelayanan ante natal dan post natal. Serta, penanganan pasien dengan kelainan bawaan perlu ditingkatkan secepatnya dengan kolaborasi antar profesi,” beber Prof Sutaryo. (M-1)
(Kedaulatan Rakyat, 4 Agustus 2018)